Perasaan Musim Semi itu
“Ra…bangun, bangun. Sudah waktunya pulang sekolah, nih.”
Terdengar samar – samar, tapi aku mengerti suara itu bukan mimpi. Secara reflek aku langsung bangun. Dan langsung memasukkan buku – bukuku ke dalam tas. Suasana kelas sudah sepi kecuali Agi yang membangunkanku tadi masih ada di kelas tepatnya dia berdiri di dekatku menungguku membereskan buku – bukuku.
“Tumben hari ini kamu ketiduran?”Tanya Agi yang terlihat heran dengan sikapku sedari tadi yang terlihat nggak bersemangat sama sekali sepanjang pelajaran. Dan akhirnya tertidur saat pelajaran terakhir.
“Tadi, apa Pak Beni tahu aku ketiduran?”
“Ya, Pak Beni, sih, tahu. Tapi, kamu dibiarin aja ketiduran. Kamu, kan, anak kesayangan guru. Nggak perlu ikut pelajaran satu jam aja, nggak bakal nyusahin kamu. Karena dari sananya udah keturunan Albert Einstein.”
“Apaan, sih. “
Dengan wajah masih terlihat mengantuk, aku bergegas pulang bersama dengan Agi. Sepanjang perjalanan pulang siang itu, Agi terus ngomong. Yang itulah, yang inilah. Dan paling banyak soal gosip di sekolah. Karena dia biangnya ngegosip. Aku hanya dengerin aja. Tapi, dengan begitu sepanjang perjalanan pulang nggak terasa sepi.
“Kamu enak, ya. Segalanya udah diaturin. Kamu, kan, setelah keluar dari sekolah, direkomendasikan sekolah keluar negri. Kemana, tuh?”
“Ke mana apanya?”
“Ya dikirim ke universitas mana?”
“Rahasia.”
“Apa – apaan, tuh. Main rahasia – rahasiaan segala.”
“Biarin.”
Bukannya sombong, tapi aku termasuk siswa teladan di kotaku. Walau begitu, aku selalu merasa biasa – biasa saja. Tapi, walau begitu aku bersyukur akan apa yang telah diberikan Tuhan padaku.
Namun, belakangan ini ada satu hal yang mengganjal di pikiranku. Walau terlihat dari luar aku selalu bersikap seakan tak ada apa – apa padaku. Tapi, dalam hati aku merasa kesepian. Bukan karena jauh dari ibu karena saat ini aku “nge-kos”. Satu hal yang kupikirkan, ada satu hal yang terlewatkan selama dua tahun lebih ini.
Aku termasuk anak yang kurang mampu, tapi, karena beasiswa, aku dapat masuk ke sekolah ini. Aku bersyukur sekali, bisa membuat ibu senang.
Impianku sudah terencana. Segalanya untuk belajarku selanjutnya sudah ditentukan. Dan karena itu pun semua orang bangga padaku. Teman – temanku pun banyak. Semua baik padaku. Tapi, tetap saja aku merasakan seperti ada yang kurang.
Ujian akhir sekolah tinggal dua minggu lagi. Dan hari demi hari itu tentu aku sangat sibuk. Aku lebih banyak mempersiapkan segalanya untuk ujian itu. Tak ada hal lain yang aku pikirkan. Tapi, ada satu hal yang mengganjal pikiranku. Entah itu apa, aku selalu merasa ada yang kurang.
Dan hari ujian tiba. Selama seminggu aku menjalani ujian, aku merasa tak ada beban. Alhamdulillah aku bisa menyelesaikan ujian dengan lancar.
Hari ini aku buru – buru pulang sekolah. Ingin cepat bertemu ibu, karena semalam ibu menelepon akan berkunjung ke tempat kosku.
Pulang sekolah aku cukup dengan jalan kaki. Sepanjang perjalanan menuju ke tempat “kos – kosan”aku biasanya mampir ke taman kota. Biasalah sekedar istirahat. Tapi sepertinya untuk hari ini tidak bisa.
“Maaf, ya. Untuk hari ini aku nggak bisa mampir,”Ucapku dalam hati saat melintasi taman kota. Ya, mau bagaimana lagi. Karena ada seseorang yang sedang menungguku pulang.
“Ibu!,”Panggilku. Aku langsung memeluk ibuku.
“Bagaimana di sekolah,”Tanya ibu yang sedang duduk di kursi dekat tempat tidur.
“Aku kangen ibu,”Ucapku tanpa memperdulikan pertanyaannya.
“Kamu itu, ya. Nih, ibu bawakan makanan buat kamu. “
“Makasih, bu,”Ucapku dengan senang, yang masih memeluk beliau.
Malam ini aku merasa senang sekali. Itu karena ada orang yang menemaniku. Tadi siang aku ngobrol banyak tentang sekolah pada ibu. Malamnya ibu buatin aku makanan. Karena di tempat kos – kosan ini juga ada dapur di setiap kamar.
Malam ini setelah makan malam, kami duduk di luar beranda. Untungnya tempatnya nggak begitu sempit. Dan lagi umumnya yang “ngekos” di sini masih pelajar jadi sudah pada tidur.
“Bu! Mbak Risa bagaimana kabarnya.”
“Baik, kok. Tapi, yang penting kamu baik – baik saja, kan, di sini?”
“Iya…,”Jawabku dengan senang. Karena merasa malam ini aku nggak sendirian jadi seneng banget.
Aku tidur – tiduran di pangkuan ibu. Tangannya yang halus membelai rambutku. Sambil memandang ke atas langit. Kulihat bintangnya banyak banget yang terlihat malam ini. Karena biasanya nggak kelihatan sebanyak ini.
“Ara ! Bintangnya banyak, ya?”
“Iya, banyak…….. banget.”
“Langitnya jadi terang.”
“Tentu saja, kan, Bu. Bintangnya, kan, banyak.”
Suasana hening di depan beranda. Dingin tapi tetap saja tak bisa mengalahkan perasaanku yang senang sekali ini. Karena bisa bertemu ibu yang beberapa bulan tak bisa bertemu.
“Kamu udah terlihat dewasa, ya?”
“Dewasa apanya kalau masih dibelai ibunya begini.”
“Dewasa itu tidak berarti tidak boleh mendapat belaian dari ibunya, kan?”
Benar juga. Nggak ada hubungannya, sih. Aku pun melihat kembali melihat bintang – bintang itu.
“Manusia bertambah dewasa dengan pengalaman yang diperolehnya. Bukan hanya pengalaman yang menyenangkan saja, pengalaman sedih dan sulit, bahkan yang bagi manusia tidak ada artinya pun menjadisesuatu yang dapat membuat kita semakin dewasa.”
Aku mendengarkan kata – kata ibu. Memang benar, selama ini aku sudah menjalani berbagai macam pengalaman.
“Jadi, kamu sudah sejauh ini, tentu banyak pengalaman yang kau dapatkan. Tapi, hidupmu masih panjang. “
Lagi – lagi ibu berhenti berbicara seraya membelai rambutku, beliau tersenyum.
“Impian seseorang itu seperti bintang di langit. Tidak terbatas jumlahnya dan terbentang luas. Tapi, kamu harus tahu, tidak ada mimpi yang bisa dicapai dengan mudah. Tidak ada orang yang bisa mendapatkannya dengan mudah. Siapapun juga pasti merasakan penderitaaan dalam mengejar mimpi mereka.”
Aku memandang ibu.Kata – kata itu membuatku tersentuh. Aku jadi terperangah mendengarnya. Seraya membelai rambutku, ibu memandangku dan beliau tersenyum padaku.
“Ibu selalu berpikir, impianmu itu pasti akan terwujud.”
Mendengar kata – kata ibu, tak terasa air mataku menetes. Aku tak tahu lagi bagaimana aku tanpa ibu. Aku sangat bersyukur hari ini ibu bisa datang. Aku pun langsung bangun dan memeluk ibuku.
“Benar. Aku pasti mampu melakukannya,” Ucapku dalam hati.
Dua tahun telah berlalu. Dan umurku sudah sembilan belas tahun. Tak terasa sudah selama ini.
Malam ini seperti biasa terlihat bintangnya bertaburan. Dan di luar dingin sekali. Aku memakai jaket tebal dan topi yang menutupi telingaku juga. Sambil duduk – duduk di kursi aku menghidupkan hpku.
“Assalamu alaikum,”Salamku pada seseorang yang kutelepon.
“Waalaikum salam. Malam – malam begini, kok, belum tidur?”
“Ibu lupa, ya. Di sini, kan udah subuh.”
“Masa. Aduh ibu lupa. Jadi gimana kabarnya di sana?”
“Alhamdulillah baik Bu. Ibu juga di sana baik, kan?”
Dua tahun telah berlalu, aku berada di sini. Bulan ini bulan november. Setelah Hari raya kemarin aku belum bertemu Ibu. Tentu saja aku kangen banget.
Bulan November di Jepang sedang musim dingin. Di Tokyo saat musim dingin suhunya bisa mencapai lima derajat celcius. Tapi, itu masih relatif ringan. Di daerah selain Tokyo yang bagian barat pulau Jepang suhunya bisa mencapai minus empat. Tapi, untung aku berada di Tokyo.
Aku diterima di universitas Tokyo. Sejak duatahun lalu, tak terasa sudah lama sekali. Saat aku dinyatakan lulus dan langsung dikirim ke sini.
Di sini aku tinggal di asrama. Bersama yang lainnya, aku memiliki teman yang juga dari Indonesia. Tapi, aku kangen juga dengan Agi. Aku jadi ingat semasa SMA dulu. Ya, itu tentunya kenangan yang nggak bisa aku lupakan.
Malam ini karena sedang libur musim dingin, aku sempatkan bersama temanku untuk berjalan – jalan. Asramaku berada di perfektur Yokohama. Jadi kalau ke Tokyo tinggal naik kereta. Tapi, hari ini kami akan melihat festival di jalanan utama Susukino. Sepanjang jalan Susukino kita bisa melihat ratusan patung – patung salju dan pahatan es yang indah. Walau dingin tapi banyak juga orang – orang yang menyaksikan karena ini festival terbesar yang dirayakan setiap setahun sekali di Jepang. Selain di jalan utama Susukino ada juga di taman Odori dan lapangan di Satoland. Festival ini pun berlangsung selama tujuh hari.
“Seandainya ibu bisa ke sini,”Pikirku yang lagi kangen ibu. Aku melamun sejenak. Melihat aku yang melamun temanku Ai menyapaku.
“Doo arimashitaka (Ada Apa) ?”
“Kamaimasen(Tidak apa – apa),”Jawabku yang langsung menyadari keberadaannya yang sepertinya mengkhawatirkan aku yang diam sejak tadi. Aku langsung menarik tangannya dan mengajaknya berjalan – jalan kembali.
Aku jadi ingat saat Di SMA . Ada perasaan yang sepertinya terus aku ingat. Aku jadi ingin perasaan itu hadir di sini. Perasaan menyukai seseorang. Aku sadar akan hal itu. Jika berpikir hal itu. Aku jadi tersenyum sendiri. Sering aku ceritakan pada ibu. Ibu selalu berkata “Berdoa saja. Pasti kamu akan menemukannya”. Itu jadi membuatku sering melamun terus. Tapi nggak terlalu sering. Hanya saja kadang datang.
“Kyoo wa samui desune(Hari yang dingin, ya),”Tanya Ai tiba – tiba.
Aku memandanginya. Kulihat dia gemetar karena kedinginan.
“Chotto o-machi kudasai (sebentar),” Ucapku yang langsung pergi.
Aku bergegas ke mini market. Aku bermaksud tuk beli minuman hangat. Setelah membelinya aku bermaksud kembali. Aku berjalan dengan terburu – buru. Tanpa kusadari sebuah sepeda melintas di depanku dan hampir aku menabraknya. Aku tidak apa – apa tapi orang yang naik sepeda tadi terjatuh. Aku langsung mendekatinya.
“Shitsurei shimasu(Maaf),”Ucapku yang langsung membantunya berdiri.
“Tak apa,”Jawabnya seraya menghilangkan salju di kepalanya.
“Anda bisa bahasa Indonesia,”Tanyaku yang agak kaget.
Dia langsung menoleh ke arahku. Terlihat banget wajahnya kaget ketika melihatku.
“Kenapa? “
“Ara!”
“Dari mana kamu tahu namaku?”
Aku kaget ketika dia memanggil namaku. Padahal bertemu saja tidak pernah.
Besoknya, aku bertemu dia sekali lagi. Kali ini di kampus. Ternyata dia satu kampus denganku. Kami pun ngobrol bareng di cafe.
“Jadi kamu dulu sekolah yang sama denganku, begitu?”Tanyaku tidak percaya.
“Ya, begitulah. Saat itu aku ikut ayah yang ada di Indonesia. Karena ayahku asli Indonesia. Aku juga sering dengar namamu. Kamu, kan, anak yang dapat beasiswa sekolah di sini. Teman – temanku sering membicarakan tentang kamu. Jadi aku tahu kamu,”Jelasnya.
Sejak saat itu aku jadi sering ngobrol dengannya. Paling sering, sih, ngomong soal dia. Namanya Zakkilamsyah. Baru saja jadi mualaf bersama ibunya yang asli orang Jepang karena sang ayah beragama islam. Kami juga sering pergi jalan – jalan. Seringnya, sih, kami pergi sama teman. Biar rame.
Sekarang bulan Mei. Musim semi cepat juga datang. Alhamdulillah di sini aku lebih bisa beradaptasi dengan baik. Aku lebih sering berkomunikasi dengan ibu.
Jam tiga aku sudah pulang dari kampus. Tapi, aku ingin mampir sebentar di taman Odori. Bulan ini pohon cerinya mekar. Aku ingin sekali melihatnya.
Di taman Odori sore ini cukup ramai. Banyak yang menggelar tikar di bawah pohon Ceri. Cuacanya juga masih agak dingin. Aku memakai jaket yang tipis.
Aku duduk di atas rumput. udaranya sejuk. Aku langsung mengambil kotak makan siangku yang sengaja kusisakan untuk even – even seperti ini. Seraya memandangi bunga sakura yang mekaraku memakan nasi kepal yang dibuatkan temanku, karena aku nggak ahli dalam membuat nasi kepal dan juga nggak sempat membuat makan siang. Tapi kenyataannya aku memang nggak sempat membuat bekal, jadi temanku memberikan nasi kepal.
“Hai!,”Sapa seseorang yang tiba – tiba muncul di depanku.
“Zakki.”
Nggak nyangka di saat – saat seperti ini malah bersama dengan Zakki. Tapi, aku senang karena ada yang nemenin. Daripada sepi, juga nggak enak.
“ Sakura wa ima mankai desu(Sekarang bunga sakura mekar).”
“Ya. Ima wa haru desu ne(sekarang, kan musim semi).”
Anginnya meniup dengan lembut. Bunga sakura berjatuhan tepat di bawahku. Aku jadi hanyut dalam suasana ini.
“Kamu tahu. Saat – saat seperti ini sudah lama aku tunggu.”
‘Maksudmu?”
“Sudah lama aku mencarimu, sejak aku mengenalmu saat di SMA dulu, walaupun kamu nggak mengenalku. Aku selalu melihatmu di sekolah, saat kamu ketiduran di kelas saat pelajaran, dan saat kamu ngobrol dengan Agi.”
“Tunggu! Kok, kamu tahu Agi?”
“Maaf aku belum cerita soal itu. Agi itu saudara sepupuku. Lebih detailnya adik sepupuku.”
Mendengar jawabannya kontan aja aku kaget setengah mati. Aku nggak menyangka Agi punya saudara jauh di Jepang.
Dia menceritakan semua tentang aku bagaimana aku di sekolah hampir semua hal tentang aku dia tahu. Ternyata Agi sering menceritakan tentang aku padanya.Diapun menceritakan tentang dirinya.
“Sebenarnya aku pindah ke Indonesia karena aku putus asa bisa bersekolah di sini. Aku merasa aku tidak pantas bersekolah di sini hanya karena saat itu aku tidak bisa berbahasa Jepang. Karena sejak kecil aku lebih lama di Indonesia. Tapi, sejak bertemu denganmu. Pandanganku akan hal itu, berubah. Kamu yang terlihat berusaha demi mencapai impianmu untuk bisa kuliah. Kamu berusaha keras untuk itu. Aku tahu sambil sekolah kamu juga kerja sambilan di toko buku sebagai kasir. Dan sering pula kamu ketiduran saat pelajaran sekolah berlangsung. “
Dia berhenti berbicara. Sampai detik ini aku masih tidak percaya akan ceritanya. Aku hanya terpaku akan keadaan dan tetap terdiam.
“Tapi karena itulah aku merasa ada sesuatu yang tidak membuatku lari lagi dari kenyataan. Dan mulai saat itu aku pun berusaha sepertimu. Berusaha untuk tidak lari lagi. Aku jadi punya keinginan untuk menyusulmu ke sini. Dan akhirnya keinginan itu tercapai. Sampai aku bertemu denganmu saat kecelakaan itu.”
“Jadi, kamu….”
“Benar. Sejak lama…aku…suka…Ara, kok?” Ucapnya terdengar gagap. Tapi, aku melihatnya yang tersenyum padaku.
Sesaat aku terperangah. Aku tidak menyangka hal ini akan terjadi. Tapi, aku tidak ingin membuatnya sedih. Aku pun tersenyum padanya dan pandanganku kualihkan pada bunga sakura di atasku. Bunganya berjatuhan tertiup angin. Ibu terima kasih. Tuhan terima kasih. Semuanya terima kasih. Sampai saat ini aku berusaha mewujudkan impianku. Dan hari ini aku dapat berguna bagi seseorang. Keinginanku mewujudkan mimpiku tersalurkan pada seseorang yang hampir putus asa. Dan hari ini, tahukah ibu. Perasaan yang kuinginkan datang juga. Perasaan yang selalu kupikirkan saat SMA sampai sekarang itu. Hari ini, di musim semi, akhirnya, aku dapat merasakan perasaan ini. Perasaan pertama kali jatuh cinta. Di sini di bawah pohon Sakura perasaan itu akhirnya datang. Dan dia datang, bukan dariku malah sebaliknya, dari orang lain. Perasaan terhadapku yang aku peroleh saat ini.
Sembari tersenyum memandang bunga sakura,diapun ikut tersenyum. Memandang sakura yang berterbangan dengan indahnya. Bulan ini ternyata musim semi yang indah.
By : Widyas